Friday, October 15, 2010

Balinese gamelan

Balinese gong kebyar

Some of the instruments from the gong kebyar Lila Cita

Gamelan gong kebyar

Balinese gamelan Lila Cita, (the name refers to both the gamelan and the group) is a gong kebyar, the most popular form of gamelan in Bali today.

Kebyar is usually translated as 'bursting open' and gong kebyar burst upon the Balinese gamelan scene 1915. The instruments have five tones.

Carved bhoma from the end
of a gangsa

The instruments include a number of gangsa (at the back left of the picture) of different sizes. They have bronze keys, suspended over bamboo resonators and are struck with wooden mallets.

The larger of these instruments (jegog and calung) play the basic melody. The smaller gangsa play kotekan - rapid interlocking patterns.

These consist of two parts polos (plain) and sangsih (differing). The picture also shows the reyong (gong chimes) and the gongs.

The ensemble is led by two drums, playing interlocking patterns. All the metallophones are tuned in pairs, to the same pitch, but one of each pair is tuned slightly higher than the other.

This results in the shimmering sound which is characteristic of Balinese gamelan. The gongs and drums are also tuned in pairs wadon (female) and lanang (male).

Resource link http://www.gamelannetwork.co.uk/balinese-gamelan.html

Central Javanese gamelan

Cheltenham Arts Festival Gamelan

Gamelan owned by Cheltenham Arts Festivals

A modern Central Javanese gamelan, such as the one pictured above, consists mainly of tuned metallophones and gongs and gong chimes with other instruments (see below).

A complete gamelan is actually two sets of instruments, in different laras (tunings), namely slendro (a five-tone scale) and pelog (a seven-tone scale). However the precise tuning of each individual gamelan is unique.

The 'traditional' Javanese music usually played today originates largely from the 19th century Javanese courts, although some of this music has much older origins.

The pieces are cyclical in nature, with some instruments playing a basic melody, others embellishing this while others act as 'punctuation' to mark important points in each cycle.

The instruments

Gongs, Suwukan and Kempul

These are shown at the back of the main picture above. The big gong is the most important instrument in the ensemble and is used to mark the end of each cycle.

Kenong

kenongKenong (left) are also 'punctuating' instruments.

Saron

The saron (middle right of the main picture above) play the basic melody (balungan) of the piece.

The demung plays an octave below the saron and the peking plays an octave above.

The balungan is also played by the slenthem, a metallophone with bamboo resonators.

Bonang

These are horizontal gong-chimes (at the front left of the main picture above) which play straightforward embellishments on the main melody.

Kendhang

Double-headed drums which lead the ensemble.

Soft instruments

These include:

gender - metallophones with bamboo resonators

gambang - wooden xylophone-like instruments

rebab - a two-stringed bowed instrument

suling - an end-blown bamboo flute

siter - a zither-like instrument.

All these instruments play embellishments on the basic melody.


Resource Link http://www.gamelannetwork.co.uk/javanese-gamelan.html


RADEN GATOTKACA

Raden Gatotkaca

Raden Gatotkaca adalah putera Raden Wrekudara yang kedua. Ibunya seorang putri raksasa bernama Dewi Arimbi di Pringgandani. Waktu dilahirkan Gatotkaca berupa raksasa, karena sangat saktinya tidak ada senjata yang dapat memotong tali pusatnya. Kemudian tali pusat itu dapat juga dipotong dengan senjata Karna yang bernama Kunta, tetapi sarung senjata itu masuk ke dalam perut Gatotkaca, dan menambah lagi kesaktiannya.
Dengan kehendak dewa-dewa, bayi Gatotkaca itu dimasak seperti bubur dan diisi dengan segala kesaktian; karena. itu Raden Gatotkaca berurat kawat, bertulang besi, berdarah gala-gala, dapat terbang di awan dan duduk di atas awan yang melintang. Kecepatan Gatotkaca pada waktu terbang di awan bagai kilat dan liar bagai halilintar. Kesaktiannya dalam perang, dapat mencabut leher. musuhnya dengan digunakan pada saat yang penting. Gatotkaca diangkat jadi raja di Pringgadani dan ia disebut kesatria di Pringgadani, karena pemerintahan negara dikuasai oleh keturunan dari pihak perempuan. Dalam perang Baratayudha Gatotkaca tewas oleh senjata Kunta yang ditujukan kepada Gatotkaca. Ketika Gatotkaca bersembunyi dalam awan. Gatotkaca jatuh dari angkasa dan mengenai kereta kendaraan Karna hingga hancur lebur. Gatotkaca beristerikan saudara misan, bernama Dewi Pregiwa, puteri Raden Arjuna.


Dalam riwayat, Gatotkaca mati masih sangat muda, hingga sangat disesali oleh sekalian keluarganya.
Menurut kata dalang waktu Raden Gatotkaca akan mengawan, diucapkan seperti berikut :
Tersebutlah, pakaian Raden Gatotkaca yang juga disebut kesatria di Pringgadani: Berjamang mas bersinar-sinar tiga susun, bersunting mas berbentuk bunga kenanga dikarangkan berupa surengpati. (Surengpati berarti berani pada ajalnya. Sunting serupa ini juga dipakai untuk seorang murid waktu menerima ilmu dari gurunya bagi ilmu kematian, untuk lambang bah.wa orang yang menerima ilmu itu takkan takut pada kematiannya). Bergelung (sanggul) bentuk supit urang tersangga oleh praba, berkancing sanggul mas tua bentuk garuda membelakang dan bertali ulur-ulur bentuk naga terukir, berpontoh nagaraja, bergelang kana (gelang empat segi). Berkain (kampuh) sutera jingga, dibatik dengan lukisan seisi hutan, berikat-pinggang cindai hijau, becelana cindai biru, berkeroncong suasa bentuk nagaraja, uncal diberi emas anting.


Diceritakan, Raden Gatotkaca waktu akan berjalan ia berterumpah Padakacarma, yang membuatnya dapat terbang tanpa sayap. Bersongkok Basunanda, walaupun pada waktu panas terik takkan kena panas, bila hujan tak kena air hujan. Diceritakan Raden Gatotkaca menyingsingkan kain bertaliwanda, ialah kain itu dibelitkan pada badan bagian belakang Raden Gatotkaca segera menepuk bahu dan menolakkan kakinya kebumi, terasa bumi itu mengeram di bawah kakinya. Mengawanlah ia keangkasa.
Wayang itu diujudkan sebagai terbang, ialah dijalan kain, dari kanan ke kiri, dibagian kelir atas beberapa kali lalu dicacakkan, ibarat berhenti di atas awan, dan dalang bercerita pula, Tersebutlah Raden Gatotkaca telah mengawan, setiba di angkasa terasa sebagai menginjak daratan, menyelam di awan biru, mengisah awan di hadapannya dan tertutuplah oleh awan di belakangnya, samar samar tertampak ia di pandangan orang. Sinar pakaian Gatotkaca yang kena sinar matahari sebagai kilat memburunya. Maka berhentilah kesatria Pringgadani di awan melintang, menghadap pada awan yang lain dengan melihat ke kanan dan ke kiri. Setelah hening pemandangan Gatotkaca, turunlah ia dari angkasa menuju ke bumi,
Adipati Karna waktu perang Baratayudha berperang tanding melawan Gatotkaca. Karna melepaskan senjata kunta Wijayadanu, kenalah Gatotkaca dengan senjata itu pada pusatnya. Setelah Gatotkaca kena panah itu jatuhlah Gatotkaca dari angkasa,, menjatuhi kereta kendaraan Karna, hingga hancur lebur kereta itu.
Tersebut dalam cerita, Raden Gatotkaca seorang kesatria yang tak pernah bersolek, hanya berpakaian bersahaja, jauh dari pada wanita. Tetapi setelah Gatotkaca melihat puteri Raden Arjuna, Dewi Pregiwa, waktu diiring oleh Raden Angkawijaya, Raden Gatotkaca jatuh hati lantaran melihat puteri itu berhias serba bersahaja. Berubah tingkah Raden. Gatotkaca ini diketahui oleh ibunya (Dewi Arimbi) dengan sukacita dan menuruti segala permintaan Raden Gatotkaca. Kemudian puteri ini diperisteri Raden Gatotkaca.

BENTUK WAYANG

Gatotkaca bermata telengan (membelalak), hidung dempak, berkumis dan beryanggut. Berjamang tiga susun, bersunting waderan, sanggul kadal-menek, bergaruda membelakang, berpraba, berkalung ulur-ulur, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain kerajaan lengkap.
Gatotkaca berwanda 1 Guntur, 2 Kilat 3 Tatit. 4 Tatit sepuh, 5 Mega dan 6 Mendung.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

Sekilas Tentang Cerita Ramayana

Prabu Dasaratha dari negeri Ayodya memiliki empat putra; Rama, Bharata, Laksmana dan Satrughna. Maka suatu hari seorang resi bernama Wiswamitra memohon bantuan Sri Paduka Dasaratha untuk menolongnya membebaskan pertapaannya dari serangan para raksasa. Maka Rama dan Laksamana berangkat.

Di pertapaan, Rama dan Laksmana menghabisi semua raksasa dan kemudian mereka menuju negeri Mithila di mana diadakan sebuah sayembara. Siapa menang dapat mendapat putri raja bernama Sita. Para peserta disuruh merentangkan busur panah yang menyertai kelahiran Sita. Tak seorangpun berhasil kecuali Rama, maka mereka pun menikah dan lalu kembali ke Ayodya.

Di Ayodya Rama suatu hari akan dipersiapkan dinobatkan sebagai raja, karena ia adalah putra sulung. Namun Kaikeyi, salah seorang istri raja Dasaratha yang bukan ibu Rama berakta bahwa sri baginda pernah berjanji bahwa Bharata lah yang akan menjadi raja. Maka dengan berat hati raja Dasaratha mengabulkannya karena memang pernah berjanji demikian. Kemudian Rama, Sita dan Laksmana pergi meninggalkan istana. Selang beberapa lama, raja Dasaratha meninggal dunia dan Bharata mencari mereka. Ia merasa tidak pantas menjadi raja dan meminta Rama untuk kembali. Tetapi Rama menolak dan memberikan sandalnya (bahasa Sansekerta: pâduka) kepada Bharata sebagai lambang kekuasaannya.

Relief Sita yang diculik. Relief ini terdapat di Candi Prambanan, Jawa Tengah.

Maka Rama, Sita dan Laksmana berada di hutan Dandaka. Di sana ada seorang raksasi bernama Surpanakha yang jatuh cinta kepada Laksmana dan ia menyamar menjadi wanita cantik. Tetapi Laksmana tak berhasil dibujuknya dan malahan akhirnya ujung hidungnya terpotong. Surpanakha marah dan mengadu kepada kakaknya sang Rahwana (Rawana) dan membujuknya untuk menculik Sita dan memperistrinya. Akhirnya Rahwana menyuruh Marica, seorang raksasa untuk menculik Sita. Lalu Marica bersiasat dan menyamar menjadi seekor kijang emas yang elok. Sita tertarik dan meminta suaminya untuk menangkapnya. Rama meninggalkan Sita bersama Laksmana dan pergi mengejar si kijang emas. Si kijang emas sangat gesit dan tak bisa ditangkap, akhirnya Sri Rama kesal dan memanahnya. Si kijang emas menjerit kesakitan berubah kembali menjadi seorang raksasa dan mati. Sita yang berada di kejauhan mengira yang menjerit adalah Rama dan menyuruh Laksamana mencarinya. Laksmana menolak tetapi akhirnya mau setelah diperolok-olok dan dituduh Sita bahwa ia ingin memilikinya. Akhirnya Sita ditinggal sendirian dan bisa diculik oleh Rahwana.

Teriakan Sita terdengar oleh burung Jatayu yang pernah berkawan dengan prabu Dasaratha dan ia berusaha menolong Sita. Tetapi Rahwana lebih kuat dan bisa mengalahkan Jatayu. Jatayu yang sekarat masih bisa melapor kepada Rama dan Laksmana bahwa Sita dibawa ke Lengka, kerajaan Rahwana.

Kemudian Rama dan Laksmana mencari kerajaan ini. Di suatu daerah mereka berjumpa dengan kera-kera dan seorang raja kera bernama Bali yang menculik istri kakaknya. Akhirnya Bali bisa dibunuh dan istrinya dikembalikan ke Sugriwa dan Sugriwa bersedia membantu Rama. Akhirnya dengan pertolongan bala tentara kera yang dipimpin Hanuman, mereka berhasil membunuh Rahwana dan membebaskan Sita. Sita lalu diboyong kembali ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi raja.

Sumber dari wikipedia.org ( Ensiklopedia Bebas )

"Kakawin Ramayana"


ISTILAH PEWAYANGAN

Istilah Pewayangan

Berikut ini adalah sebutan yang digunakan dalam dunia pewayangan:

  1. Begawan adalah sebutan untuk seorang pendeta yang berasal dari raja yang meninggalkan kerajaan.
  2. Batara atau Betara adalah sebutan untuk tokoh wayang yang berjiwa Ketuhanan, dan merupakan titisan Dewa.
  3. Dahyang: sama dengan sebutan Pendeta.
  4. Dewa: sebutan untuk tokoh wayang yang berjiwa Ketuhanan.
  5. Dewi: sebutan untuk seorang puteri kerajaan atau sebutan untuk dewa perempuan
  6. Yanggan : sebutan rendahan dari tokoh Wasi.
  7. Resi : sebutan untuk seorang yang suci.
  8. Sang: awalan sebutan yang luhur.
  9. Pandita : sebutan seorang yang luhur jiwanya.
  10. Wara : sebutan seorang yang tersohor, baik laki-laki atau perempuan.
  11. Wasi sebutan seorang pendeta yang agak rendahan.
  12. Putut : sebutan seorang murid atau pelayan pendeta.
  13. Cekel: hamba seorang pendeta yang dianggap keluarga.
  14. Cantrik : hamba atau anak murid pendeta.
  15. Prabu : sebutan seorang raja.

Sumber : http://wayangku.wordpress.com/